Situasi kemanusiaan di Suriah pascakonflik masih jauh dari kata pulih. Meski beberapa kota besar mulai berdenyut kembali, ribuan keluarga eks pengungsi di berbagai wilayah masih bergantung pada bantuan pangan, medis, dan perumahan. Namun, tren di lapangan menunjukkan adanya pengurangan signifikan dari berbagai lembaga kemanusiaan internasional yang sebelumnya menjadi tulang punggung penyaluran bantuan.
Banyak lembaga kemanusiaan mengira Suriah sudah memasuki fase pemulihan penuh, sehingga fokus mereka dialihkan ke krisis global lainnya. Persepsi ini berimbas langsung pada ketersediaan bantuan bagi warga yang baru saja kembali dari pengungsian. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak keluarga yang belum memiliki mata pencaharian tetap dan rumah yang layak.
Pemerintah Suriah dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, sumber daya keuangan negara masih terbatas akibat dampak panjang perang dan sanksi internasional. Di sisi lain, kebutuhan warga yang rentan justru semakin mendesak untuk segera dipenuhi.
Salah satu langkah yang dinilai realistis adalah melanjutkan pemberian jatah hidup atau "jadup" kepada eks pengungsi setidaknya selama dua hingga tiga tahun ke depan. Bantuan ini dinilai krusial agar keluarga dapat bertahan, sementara ekonomi lokal perlahan beradaptasi.
Model ini terinspirasi dari langkah Irak pasca runtuhnya rezim Saddam Hussein, di mana pemerintah memberikan dukungan finansial rutin bagi warganya. Namun, jika Suriah belum mampu memberikan gaji bulanan, skema jadup menjadi opsi yang lebih terjangkau dan mudah dijalankan.
Selain dukungan materi, pemerintah juga dihadapkan pada tantangan besar dalam merekonstruksi infrastruktur yang hancur. Jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya membutuhkan perbaikan segera untuk memulihkan kehidupan normal.
Gagasan merekrut dua hingga tiga juta relawan dari kalangan eks pengungsi mulai mengemuka. Rekrutmen ini bersifat sukarela, tanpa kewajiban menerima semua warga, sehingga tidak ada unsur paksaan yang melanggar hak asasi.
Para relawan ini akan mendapatkan jadup sebagai bentuk dukungan selama masa keterlibatan mereka dalam proses rekonstruksi. Meski tidak berupa gaji, dukungan ini dapat membantu kebutuhan harian keluarga mereka.
Konsep relawan ini bukan hanya soal kerja fisik membangun kembali rumah dan fasilitas publik. Mereka juga dapat dilibatkan dalam pekerjaan teknis, administrasi, hingga dukungan sosial di komunitas masing-masing.
Di beberapa wilayah, keterlibatan warga lokal dalam rekonstruksi terbukti mempercepat proses pemulihan. Keterlibatan langsung membuat masyarakat memiliki rasa memiliki terhadap infrastruktur yang mereka bangun bersama.
Selain manfaat ekonomi dan sosial, keberadaan jutaan relawan ini juga dapat menjadi cadangan kekuatan bagi militer Suriah. Dalam situasi tertentu, mereka bisa dilatih dasar-dasar keamanan untuk membantu menjaga ketertiban wilayah.
Keterlibatan relawan dalam fungsi keamanan akan sangat bermanfaat di daerah-daerah yang rawan penyusupan kelompok bersenjata atau kriminal pascaperang. Hal ini tentu saja harus diatur ketat agar tidak menimbulkan pelanggaran atau benturan dengan hukum internasional.
Di sisi lain, keterlibatan eks pengungsi dalam program ini dapat memperkuat rekonsiliasi nasional. Proses bekerja bersama membangun kembali tanah air akan menumbuhkan rasa persatuan lintas latar belakang.
Namun, semua rencana ini memerlukan koordinasi matang antara pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat sipil. Tanpa sinergi yang baik, program bisa terhambat oleh birokrasi atau konflik kepentingan.
Penting pula memastikan bahwa bantuan jadup yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak-pihak yang menyalahgunakannya. Mekanisme pengawasan dan verifikasi data penerima harus diperketat.
Selain itu, diperlukan kampanye informasi yang jelas untuk menjelaskan kepada dunia internasional bahwa Suriah belum sepenuhnya pulih. Fakta ini harus dipublikasikan secara luas agar dukungan kemanusiaan tidak berhenti terlalu dini.
Beberapa pihak mengusulkan agar pemerintah membentuk badan khusus yang mengelola relawan dan program jadup secara terpusat. Hal ini dapat mempermudah penyaluran bantuan sekaligus mengatur distribusi tenaga kerja untuk proyek rekonstruksi prioritas.
Jika rencana ini berjalan baik, dalam 2-3 tahun ke depan Suriah diharapkan dapat mencapai titik stabilitas baru. Infrastruktur akan kembali berfungsi, masyarakat memiliki sumber penghidupan, dan ancaman keamanan bisa ditekan.
Meski jalan menuju pemulihan penuh masih panjang, langkah nyata seperti pemberian jadup dan mobilisasi relawan dapat menjadi batu pijakan penting. Dengan dukungan berkelanjutan, Suriah berpeluang bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi negara yang stabil.
Di tengah sorotan dunia yang mulai beralih ke krisis lain, pesan dari Suriah sederhana namun tegas: mereka masih membutuhkan uluran tangan, dan meninggalkan mereka terlalu dini berarti membiarkan luka perang terus menganga.
Posting Komentar