Perkembangan kekuatan udara China terus menjadi sorotan dunia, seiring dengan ambisi Negeri Tirai Bambu membangun armada jet tempur paling canggih di kawasan Asia. Menurut laporan sejumlah media pertahanan Tiongkok, pada tahun 2030 mendatang, Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF) diperkirakan akan mengoperasikan lebih dari seribu unit jet tempur siluman generasi kelima J-20. Jumlah ini akan menjadikan armada jet stealth China sebagai yang terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat yang selama ini mendominasi di kategori tersebut.
Jet tempur J-20 dikenal sebagai tulang punggung kekuatan udara strategis China. Pesawat ini didesain untuk mampu menembus sistem pertahanan udara modern dengan teknologi radar cross section yang sangat rendah. Sejak diperkenalkan secara resmi dalam parade militer tahun 2017, produksi J-20 terus dipercepat dan kini mulai menggantikan posisi Su-30 dan J-11 generasi sebelumnya dalam misi-misi tempur jarak jauh.
Tak hanya J-20, Angkatan Udara dan Angkatan Laut China juga tengah mempersiapkan armada pesawat tempur siluman berbasis kapal induk, yakni J-35 dan varian lanjutannya J-35A. Diperkirakan sekitar 200 hingga 300 unit pesawat jenis ini akan bergabung ke jajaran kekuatan angkatan laut China sebelum 2030. Dengan kemampuan take-off dan landing di dek kapal induk, pesawat ini dirancang untuk menjadi pengawal utama kekuatan laut China di perairan Pasifik dan Laut China Selatan.
China juga memperkuat komponen perang elektronik dan multiperan melalui pesawat J-16 dan J-16D. Lebih dari 500 unit dari kedua tipe tersebut diproyeksikan akan aktif sebelum akhir dekade ini. J-16 dikenal sebagai pesawat tempur multiperan bermesin ganda yang mampu mengangkut berbagai jenis rudal udara-ke-udara dan udara-ke-permukaan, sementara J-16D memiliki kemampuan khusus dalam perang elektronik untuk mengganggu radar dan komunikasi lawan.
Selain itu, sekitar 300 unit J-10C, pesawat tempur generasi 4.5 dengan sistem avionik modern, juga akan memperkuat skuadron udara China. Meskipun bukan kategori stealth, kehadiran J-10C diharapkan mampu memberikan keunggulan taktis di kawasan perbatasan dan dalam operasi-operasi patroli rutin di wilayah udara sengketa. Pesawat ini disebut sebagai tulang punggung tempur udara jarak menengah dengan kelincahan yang mumpuni.
Salah satu kabar menarik lainnya adalah pengembangan prototipe pesawat tempur generasi keenam yang sedang dilakukan China. Dua tipe yang tengah diuji, yakni J-36 dan J-50, diklaim akan dilengkapi teknologi kecerdasan buatan, drone loyal wingman, dan sistem senjata energi directed. Meskipun masih dalam jumlah terbatas, kehadiran prototipe ini menunjukkan bahwa China tidak ingin tertinggal dalam perlombaan teknologi tempur udara di era pasca-stealth.
Jika seluruh proyeksi ini terealisasi, China berpotensi menjadi negara dengan armada pesawat stealth terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat yang kini mengoperasikan lebih dari 600 unit F-22 dan F-35. Kondisi ini tentu akan mengubah peta kekuatan udara global, khususnya di kawasan Asia-Pasifik, yang selama ini didominasi kekuatan udara Amerika dan sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Perkembangan ini sekaligus mencerminkan strategi pertahanan udara China yang mulai bergeser dari kekuatan berbasis darat ke dominasi udara dan laut. Penguatan pesawat tempur berbasis kapal induk serta proyek generasi keenam menunjukkan ambisi China mengamankan wilayah strategis di sekitar perairan Asia Timur dan mengantisipasi kemungkinan konfrontasi di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.
Dari sisi kemampuan teknologi, pesawat-pesawat terbaru China diklaim memiliki sistem radar AESA, teknologi low observable, dan rudal hipersonik jarak jauh. Beberapa analis menyebut kemampuan manuver J-20 sudah mulai menyamai F-22 Raptor milik Amerika Serikat, meskipun masih ada keraguan terhadap kemampuan stealth sejati pesawat buatan Chengdu Aerospace Corporation itu di medan tempur nyata.
Di sektor kapal induk, pengoperasian pesawat J-35A akan memperkuat keberadaan kapal induk Fujian dan Liaoning milik AL China. Pesawat ini dirancang untuk bisa mengimbangi performa F-35B dan F-35C milik Amerika, khususnya dalam pertempuran jarak dekat di atas laut. Keberadaan 200 hingga 300 unit pesawat ini kelak akan menjadikan kapal induk China sebagai kekuatan udara terapung yang patut diperhitungkan.
Meski angka-angka itu baru berupa proyeksi internal, sejumlah pengamat militer Barat mulai mengkhawatirkan dampaknya terhadap keseimbangan kekuatan di Asia-Pasifik. Pasalnya, kehadiran ribuan pesawat tempur canggih di satu negara saja dapat memicu perlombaan senjata regional baru. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan pun mulai meningkatkan anggaran pertahanan udara mereka.
Sementara itu, Amerika Serikat dikabarkan mulai merancang konsep armada tempur masa depan yang terdiri dari pesawat generasi keenam dan drone loyal wingman dalam jumlah besar. Perlombaan ini diprediksi akan mempercepat inovasi teknologi tempur udara global sekaligus meningkatkan potensi eskalasi konflik di kawasan strategis seperti Laut China Selatan dan perairan Taiwan.
Kekuatan udara China juga didukung oleh jaringan sistem pertahanan udara modern seperti HQ-9B dan S-400 buatan Rusia. Sistem ini diproyeksikan akan diintegrasikan dengan armada pesawat stealth mereka guna menciptakan jaringan tempur terpusat berbasis komando satelit dan AI. Ini merupakan salah satu langkah menuju konsep peperangan generasi kelima yang mulai diterapkan militer-militer besar dunia.
Perubahan kekuatan udara ini tentunya akan mempengaruhi postur militer negara-negara tetangga China. Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia diprediksi harus mulai menyesuaikan strategi pertahanan udaranya mengingat kehadiran ribuan pesawat tempur modern dalam radius beberapa jam penerbangan dari wilayah mereka. Hal ini dapat berdampak pada kebijakan alutsista ASEAN dalam beberapa tahun ke depan.
Di tengah pesatnya kemajuan armada udara China, sebagian analis mempertanyakan kesiapan infrastruktur pangkalan udara, pilot, serta sistem pemeliharaan jangka panjang negara itu. Operasi ribuan pesawat stealth bukan hanya soal produksi massal, tetapi juga soal kemampuan mengoperasikan dan mempertahankannya dalam kondisi tempur yang kompleks dan intensif.
Bagaimanapun, proyeksi 2030 ini menggambarkan arah kebijakan militer China yang kian serius membangun superioritas udara regional. Perkembangan ini tak hanya mencerminkan ambisi nasional China, tetapi juga menunjukkan babak baru perlombaan teknologi militer yang semakin sengit di kawasan Asia-Pasifik. Jika semua prediksi itu terwujud, peta kekuatan udara dunia bisa berubah secara dramatis.
Posting Komentar