Top Menu

Saat Rusia Menarik Pasukan Sebelum Assad Dilengserkan

Ketegangan yang berlangsung di Suriah selama bertahun-tahun akhirnya sampai pada fase yang tidak terduga ketika laporan terbaru mengungkapkan adanya kesepakatan diam-diam antara Rusia dan kelompok oposisi. Kesepakatan itu disebut-sebut mencegah terjadinya pertempuran langsung antara kedua pihak, khususnya di jalur menuju kota Homs dan Hama.

Menurut video yang beredar, pasukan oposisi berhasil menembus hingga ke jantung Suriah tengah tanpa hambatan berarti dari militer Rusia. Padahal, sebelumnya Rusia dikenal sebagai pendukung utama rezim Bashar al-Assad dengan kekuatan udara maupun logistik. Namun, di titik itu Moskow memilih untuk menarik seluruh pasukannya.

Keputusan tersebut terjadi bersamaan dengan langkah serupa yang diambil oleh milisi pro-Iran. Milisi yang selama ini bertempur di garis depan diminta mundur dan tidak diizinkan melanjutkan pertempuran di sekitar Homs dan Hama.

Hal ini kemungkinan terkait dengan tekanan Israel saat itu dan keretakan hubungan Iran dan Assad usai banyak pasukannya dirudal Israel di Damaskus. Tehran menuduh Assad dan tentunya termasuk Rusia tak menangkis serangan udara Israel jika menarget kepentingan Iran di Damaskus.

Tak terlibatnya milisi pro Iran di Homs dan Hama membuat pasukan rejim Assad menjadi satu-satunya kekuatan yang berhadapan langsung dengan oposisi.

Situasi ini membuat posisi Assad semakin terjepit. Perdana Menteri Suriah saat itu akhirnya mengambil langkah mengejutkan dengan membuka kontak langsung dengan pihak oposisi. Kontak tersebut menjadi jembatan menuju transisi kekuasaan, terlebih setelah Bashar al-Assad secara resmi meninggalkan jabatannya.

Di sini terdapat tanda tanya, apakah Assad meninggalkan Suriah dengan maksud lengser atau memerintahkan pasukan yang tersisa di Damaskus untuk bertahan?

Hal itu terkait adanya dugaan bahwa AS dkk dilaporkan sempat berusaha untuk mempertahankan posisi Assad di Damaskus, Latakia, Tartus dan Suriah selatan dengan bantuan SDF Kurdi.

Namun karena oposisi selatan di Daraa akhirnya bergabung menguasai Damaskus rencana AS dkk tidak berhasil.

AS dkk termasuk Israel diperkirakan menganggap Assad harus dipertahankan agar Suriah tetap terpecah dalam empat pemerintahan saat itu yakni pemerintahan penyelamat (SG) dengan wilayah Idlib, Homs dan Hama, pemerintahan interim (SIG) di Azaz, pemerintahan Al Rukban (FSA) di Al Tanf sampai ke Palmyra, rejim Assad dan SDF Kurdi.

Namun secara tak terduga militer Assad kocar-kacir usai Assad melarikan diri ke Moskow.

Namun, tidak semua wilayah Suriah mengikuti pola serupa. Rusia, meski tampak menghormati oposisi di Damaskus, justru menunjukkan pendekatan berbeda di wilayah timur laut, khususnya Qamishli. Di sana, pasukan Rusia dan sisa-sisa tentara Assad justru bergabung dengan SDF Kurdi.

Kondisi tersebut memunculkan tanda tanya besar terkait niat sebenarnya Moskow. Bandara di Qamishli, misalnya, tidak diserahkan kepada pemerintahan baru Suriah. Sebaliknya, bandara tetap berada di bawah kendali Rusia dan mitra lokalnya, SDF.

Keputusan Rusia menarik diri dari Homs dan Hama diduga merupakan hasil negosiasi politik yang berlangsung di balik layar. Presiden Suriah yang baru, Ahmed al-Sharaa, bahkan menyinggung bahwa perundingan dengan Rusia sudah dilakukan sejak oposisi memasuki Hama.

Dalam pidatonya, al-Sharaa menegaskan bahwa Suriah tidak ingin bergantung pada bantuan atau pinjaman asing yang dipolitisasi. Pernyataan ini dinilai sebagai sinyal bahwa pemerintahan baru tak ingin senasib dengan negara Arab lainnya seperti Mesir yang justru kini terjebak utang dari pinjaman dunia.

Meski begitu, al-Sharaa tidak menutup pintu untuk kerja sama internasional. Ia menyebut bahwa Suriah sudah kembali membangun jaringan diplomatik dengan cepat setelah selama puluhan tahun dianggap "hilang" dari panggung dunia.

Kehadiran Israel juga tak luput dari perhatiannya. Al-Sharaa menyinggung bahwa Israel merasa "sedih" atas jatuhnya rezim sebelumnya. Ia menyebut adanya perundingan di belakang layar terkait perjanjian keamanan baru yang merujuk pada kesepakatan tahun 1974 dengan Israel yang kini masih getol melanggar wilayah Suriah selain Dataran Tinggi Golan melalui infiltrasi dan teror pemboman yang tiada henti.

Bagi sebagian analis, kesepakatan diam-diam Rusia dengan oposisi merupakan cara Moskow untuk menjaga kepentingan jangka panjang tanpa harus terus-menerus mengorbankan sumber daya militer. Rusia tampaknya ingin memastikan transisi kekuasaan berjalan tanpa bentrokan besar.

Namun di sisi lain, langkah Rusia menolak menyerahkan fasilitas strategis seperti bandara Qamishli menandakan adanya perhitungan geopolitik yang lebih dalam. Dengan menguasai titik itu, Rusia tetap memiliki pengaruh signifikan di Suriah.

Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai posisi militer Suriah pasca-kejatuhan Assad. Jika melihat perkembangan terakhir, Perdana Menteri terakhir di era Assad seharusnya masih memiliki kewenangan untuk memberi perintah kepada tentara agar tetap siaga, khususnya pada divisi pertahanan udara.

Skenario ini memungkinkan terciptanya transisi kekuasaan yang lebih teratur, karena pasukan pemerintah dapat menjaga posisinya sampai serah terima dilakukan sepenuhnya. Namun dalam praktiknya, tidak semua unit militer bersikap disiplin menghadapi perubahan.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa sebagian besar tentara Suriah lebih memilih desertir dan meninggalkan posisinya karena ketidakpastian suasana yang membuat Israel leluasa melakukan pemboman bertubi-tubi pada alutsista dan pangkalan militer yang tak dijaga.

Bagi oposisi, keberhasilan mencapai Homs dan Hama tanpa pertempuran besar dianggap sebagai kemenangan politik sekaligus militer. Mereka menilai langkah Rusia sebagai pengakuan de facto atas legitimasi perjuangan oposisi.

Sementara itu, pengamat internasional menilai keputusan Iran menarik pasukannya menunjukkan pergeseran strategi. Teheran tampaknya enggan terlibat langsung dalam pertempuran yang berpotensi menempatkannya dalam posisi diplomatik sulit, apalagi Assad dinilai lebih mengistimewakan kepentingan Rusia daripada Iran dari segi ekonomi dan politik.

Assad juga dinilai tak ingin mengambil risiko untuk lebih keras menghadapi serangan pemboman dari Israel ke Damaskus, apalagi saat itu sedang melakukan kampanye genosida di Gaza, Palestina.

Kini, Suriah berada di persimpangan jalan. Pemerintah baru berusaha menegakkan legitimasi sambil membangun kembali hubungan luar negeri, sementara kekuatan asing masih mempertahankan pengaruhnya di beberapa titik strategis.

Meski transisi berjalan relatif damai, pertanyaan tentang kedaulatan penuh Suriah masih menggantung. Selama bandara dan wilayah penting tetap berada di bawah kendali pihak asing, pemerintahan baru akan terus menghadapi tantangan dalam memulihkan otoritasnya. Apalagi dalam dua bulan terakhir telah berdiri sebuah 'negara baru' di Suwaida yang didirikan oleh milisi Druze Al Hajri dengan nama 'Negara Jabal Druze'. Milisi Al Hajri diisi oleh eks militer Assad, sehingga walau rencana AS untuk mempertahankan Assad gagal, namun eks pendukungnya berhasil secara de facto mewujudkannya dalam bentuk 'negara Druze'.

Pada akhirnya, peran Rusia dalam episode terakhir jatuhnya rezim Assad akan terus menjadi perdebatan. Apakah Moskow benar-benar memfasilitasi perdamaian atau sekadar memastikan kepentingannya tetap terjaga, masih menjadi teka-teki besar bagi rakyat Suriah dan dunia internasional. Ambiguitas Rusia sama misterius-nya dengan langkah AS yang di satu sisi mendukung integritas wilayah Suriah, namun di sisi lain mendukung kelompok yang berbeda-beda.


Share this:

 
Designed By OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates